Apakah arti koran bekas, ataupun kertas bekas pembungkus semen? Soalnya memang pada kreativitas. Di tangan M Yusuf, pria berusia 35 tahun, barang-barang itu ia manfaatkan sebaik-baiknya, tidak sekadar menjadi penghuni tong sampah.

Ia mengolah koran bekas maupun kertas bekas pembungkus semen menjadi hiasan, yang barangkali bahkan menjadi hiasan yang menghuni ruang tamu mewah. Dia juga mampu mengolah kertas bekas menjadi sandal, yang barangkali dipakai oleh sementara kalangan untuk “tampil beda”.

Oleh warga Lingkungan Dasan Agung Pejeruk, Kelurahan Dasan Agung, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, ini limbah surat kabar dan kertas bekas sak semen dijadikannya barang cenderamata berupa tas, vas bunga, keranjang sampah, kap lampu, dompet, selain wadah perhiasan, wadah telepon genggam, alat-alat tulis dan lainnya, dengan ukuran beragam: kecil, medium, besar dan jumbo.

Kerajinan itu ditekuninya sejak sekitar tahun 1990, setelah diajarkan oleh salah seorang rekannya sekampung yang kuliah di Yogyakarta. Suami Siti Mariahjanah ini merasa tertarik mempelajari teknis menganyam koran bekas, sebab kecuali bahannya gampang didapat, juga produk kerajinan itu terbilang langka di Lombok dibanding kerajinan gerabah, tenun dan lainnya.

“Saya pikir, turis pasti senang, apalagi kalau diketahuinya bahan baku kerajinan ini adalah limbah kertas,” katanya. Ayah dua anak itu mengatakan dia tertarik karena untuk menekuni kerajinan ini bahan bakunya gampang didapat.

Memang, pada waktu itu tetap saja ada persoalan baginya. Yusuf yang lulusan SMA Negeri 2 Mataran tahun 1990 itu kesulitan modal awal. Beruntung ada Koperasi Kharisma Sejati yang memberikan pinjaman modal, menampung, memasarkan dan melakukan finishing hasil kerajinan tangan itu.

Semuanya dimulai dengan “langkah kecil”. Dengan modal awal sebesar Rp 100.000, Yusuf membeli bahan koran bekas seharga Rp 1.500 per kilogram, gunting, lem dan alat kerja lainnya. Dia memerlukan 10-20 kilogram bahan baku yang kemudian habis dipakai selama seminggu. Uang pinjaman itu dibayar dengan barang produk dengan harga yang disepakati bersama dengan koperasi.

Untuk dijadikan sebuah produk, koran-koran bekas itu dipotong sesuai ukuran, lalu dipelintir menggunakan lidi, dianyam dan diberi lem. Di bagian-bagian tertentu, produk anyaman dilengkapi kertas semen sebagai penguat. Tiap produk bisa selesai dikerjakan tiga hari.

Aneka kerajinan kertas koran dan semen itu agaknya awet bila terkena air. “Kertas-kertas itu kan asalnya dari kayu, karenanya bila dipelintir sampai padat, maka ia mengeras seperti kayu,” tuturnya menjelaskan logik ketahanan produknya.

Ke luar negeri

Dari beragam produk, ia akui membuat sandal jepit—baik untuk hiasan maupun dipakai di dalam rumah—dinilai paling ruwet dan terbanyak menghabiskan kertas. Sepasang sandal memerlukan setengah kilogram kertas koran. Oleh lingkungannya, membuat sandal jepit dari bahan kertas disebut sebagai kepakaran Yusuf.

Setelah jadi, Yusuf menyerahkan karyanya ke koperasi yang selanjutnya memasarkannya. Harga jualnya bervariasi, tergantung besar-kecilnya ukuran dan bahan baku yang dihabiskan, namun kisarannya antara Rp 25.000-Rp 150.000 per produk. Tas ukuran kecil harganya Rp 30.000, ukuran jumbo Rp 75.000 per buah yang dijual ke penampung. Jika dari pengrajin harganya Rp 40.000, maka koperasi menjualnya Rp 40.500 per buah. Selisih harga yang Rp 500 bagian koperasi, dan sisanya Rp 40.000 buat perajin.

Produk kerajinan itu beberapa dibawa langsung oleh pembeli, yang umumnya kemudian dipasarkan ke Amerika Serikat dan Abu Dhabi, Unit Emirat Arab. Selain itu beberpa produk dititipkan pada kios cenderamata, pemandu wisata dan hotel di sejumlah obyek wisata di Lombok. Satu-dua hari kemudian pihak yang dititipi datang menyerahkan hasil penjualan barang kepada Yusuf.

Kerusuhan Mataram

Yusuf dan para perajin lain sempat merasa terusik oleh berbagai peristiwa di Lombok dan daerah lain seperti kerusuhan di Mataram, peristiwa bom di Bali dan Jakarta, yang mengakibatkan pemasarannya berjalan tersendat-sendat. Karena itu, pariwisata Lombok yang mulai bangkit belakangan ini dan diharapkan bisa kembali seperti sebelum tahun 2000, mencuatkan harapan baru.

Apa yang didapat Yusuf dari suasana kondusif itu antara lain terlihat pada kehidupannya saat ini. Dia jarang menjual jasa jadi peladen (buruh bangunan)—pekerjaan dengan upah Rp 25.000 sehari.

“Sekali-sekali saya ikut jualan nasi balap, selagi pekerjaan agak longgar,” ujarnya. Nasi balap (nasi bungkus) adalah usaha istrinya, yang berjualan di sebuah SMA di Mataram.

Dari usahanya, dia juga sudah bisa mengembangkan modal sendiri, sehingga bisa membagikan sebagian pekerjaan kepada tetangga. Beberapa tetangga ikut bekerja memelintir kertas, dengan upah sebesar Rp 3.000-Rp 4.000 per kilogram. Rumah permanen berlantai keramik merupakan bukti yang lain lagi dari hasil kerja Yusuf. []

Sumber: Kompas.