Sumber: Kompas.

DI jalan kecil bernama Tirta Rona di belahan selatan Kota Malang, ada papan bertuliskan “Anda Masuk Kawasan MCK Terpadu”.

Jika diteruskan, jalanannya menurun dan berujung di kuburan. Di bawahnya mengalir Kali Brantas. Bertebing curam. Dulu jalan ini diberi nama Jalan Keramat, di mana rumah-rumah warga berhimpitan seperti saling menjepit. Jalan di sekitarnya mirip jalan tikus, berkelak-kelok lalu menyempit. Lahan di situ memang tak luas, karena hanya memanfaatkan bantaran Brantas dengan kemiringan hampir 35 derajat.

Hebatnya ibu-ibu PKK setempat memiliki pikiran lebih maju dari Pemerintah Kota Malang. Tulisan kawasan MCK (mandi, cuci, dan kakus) bukan sekadar media humor warga kampung (seperti banyak tulisan di kampung-kampung). Sejak puluhan tahun lalu warga RT 03 RW 07 Kelurahan Tlogomas, Kota Malang, itu secara perlahan mengubah perilaku “ke kali” dengan membuat “tangki AG”. Istilah lokal untuk menyebut MCK, pergi “ke kali”. Sementara sejak tahun 1986 mereka mengenal istilah “tangki AG” (tangki Agus Gunarto).

Lelaki bertubuh kecil dengan badan sedikit bongkok inilah yang merasa hidupnya terganggu setiap hari. “Bayangkan, jika musim hujan ‘pisang goreng’ ngambang (istilah Agus menyebut tinja-Red). Dan kalau kering lengket di tembok-tembok rumah,” kata Agus memulai ceritanya, Rabu (11/7) lalu. Duh, jorok memang.

Tetapi, pekan lalu kejorokan itu telah mengantarkan Agus Gunarto (43) memenangkan kompetisi terobosan teknologi berkelas internasional di London, Inggris. Ia menjadi orang Asia kedua, selain India, mendapat World Technology Award 2001 untuk kategori social entrepreneurship, dalam kompetisi yang diadakan World Technology Network (WTN) yang bernaung di Emperior College London.

WTN juga menetapkan 24 pemenang lainnya untuk masing-masing kategori di antaranya bio teknologi diberikan kepada Dr Craig Venter (AS), pendidikan kepada Dr Venkataraman Balaji (India), hukum kepada Prof Lawrence Lessig (AS), dan transportasi Jaime Lerner, Gubernur Parana (Brasil). Kompetisi ini diikuti tak kurang 325 peserta dari berbagai negara di dunia.

“Saya sendiri hanya pegawai kecil di Dinas Kebersihan Kota Malang, yang lain doktor dan profesor semua,” tuturnya. Penghargaan WTN berupa lempeng platina berukuran 10 x 20 cm dengan berat sekitar 250 gram.

***

LINGKUNGAN yang serba jorok itu telah mendorong Agus melahirkan terobosan kreasi. Tahun 1984, “pisang goreng” tak hanya mengambang, tetapi juga dibungkus tas kresek lalu dilemparkan di bantaran kali. “Banyak sekali yang menyangkut di ranting-ranting bambu di sini. Ini persis di depan rumah saya sekarang ini,” timpal istri Agus, Yuli Asni (43).

Agus mulai mengumpulkan ibu-ibu PKK setempat untuk arisan. Secara perlahan-lahan, karena kebetulan ia kemudian dipilih menjadi Ketua RT, Agus mulai mengajak ibu-ibu menanggulangi kejorokan lingkungan itu. Ia menawarkan ide untuk membuat septic tank secara kolektif. Ibu-ibu menolak. Mereka ingin lingkungan bersih, tetapi tak memiliki kemampuan dan dana.

“Banyak yang mencibirkan suami saya, karena ia hanya kerja jadi sopir bemo. Katanya, sopir bemo wae kok dipercoyo sih,” tutur Yuli Asni. Namun, tambahnya, ibu-ibu mulai setuju ketika ditawarkan gagasan hasil penarikan arisan agar digunakan untuk membeli pipa dan ongkos memasang di sekitar rumah sendiri.

Pelan-pelan akhirnya jaringan pipa MCK mulai terpasang di bawah tanah. Itulah yang kemudian merangsang Agus menciptakan apa yang kemudian disebut oleh warga sebagai tangki AG. Tangki ini tak lain septic tank berbentuk sumur dengan penampung pemecah di tengahnya. Seluruh limbah MCK dialirkan lewat pipa menuju tangki AG. Penampung berfungsi untuk memecahkan “pisang goreng”, kemudian lewat kisi-kisi air dialirkan ke kolam. “Di atas kolam saya tanami eceng gondok. Dulu sekadar menyamarkan kolam saja,” kata Agus Gunarto.

Namun, belakangan ia baru tahu bahwa eceng gondok bisa menyerap logam berat yang terdapat dalam air limbah. Oleh karena itu, kolam penampung cairan MCK tak terlalu berbau. Air dalam kolam, setelah lewat beberapa saringan, kemudian dialirkan lewat sudetan menuju Kali Brantas. “Seluruh pembuatan tangki dan kolam ini semua swadaya. Dulu hanya Rp 6 juta,” tutur Agus.

Kini jaringan MCK terpadu itu telah digunakan tak kurang dari 60 KK (kepala keluarga). Dalam setiap rumah tak kurang dihuni lima sampai 10 orang. Di sekitar situ, banyak kamar dipergunakan untuk kos-kosan mahasiswa, karena lokasinya dekat dengan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). “Jadi saya kira penduduknya ada sekitar 500 orang,” kata Agus.

***

MCK terpadu bikinan Agus hanya sebuah karya teknologi sederhana. Setelah melihat instalasinya di kampung Keramat itu, barangkali banyak yang bakal mencibir. Bahkan kini, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) membangun instalasi “tandingan” tepat di sebelah tangki AG. Instalasi “tandingan” itu bahkan menggunakan penggerak listrik. “Ini katanya proyek percontohan, tapi sampai kini belum dimanfaatkan,” tutur Agus Gunarto.

Hal yang sama juga terjadi di IPLT (Instalasi Pengolahan Limbah Tinja) bantuan Bank Dunia untuk Pemerintah Kota Malang di kawasan Supiturang. Lebih dari setahun setelah selesai dibangun, sampai kini belum beroperasi. Menurut Kepala Dinas Kebersihan Kota Malang Muhammad Adjumain, IPLT belum beroperasi karena terbentur peraturan daerah (perda). “Sampai kini kita belum punya perda retribusi IPLT,” kata Adjumain.

Ujung-ujungnya Dinas Kebersihan sendiri tak tahu secara pasti, ke mana para pengusaha jasa penguras kakus membuang tinja. Bahkan Wali Kota Malang Suyitno menduga tinja-tinja yang dikuras dari rumah warga kota itu dibuang ke kali-kali terdekat. Perilaku yang tak jauh beda dengan warga RT 03 RW 07 di masa-masa awal.

Kehebatan hasil yang dicapai Agus Gunarto tidak hanya terletak pada teknologi MCK terpadu itu. Namun, lelaki mantan sukwan (sukarelawan) di Dinas Kebersihan ini, dihargai karena meluruskan perilaku warganya yang menggantungkan MCK pada Kali Brantas. Mengubah kebiasaan turun-temurun bukan perkara mudah. “Kebiasaan menggunakan kali sebagai MCK, membuat warga justru merasa jijik kalau di rumahnya ada kloset. Kan kalau di kali banyak pemandangan,” kata ayah dua putri satu putra ini.

Indonesia memang pernah mengalami masa di mana masyarakat sulit beradaptasi dengan kloset. Banyak kasus kloset nganggur di pedesaan. Mereka bahkan menggunakan ruang kakus untuk menyimpan barang-barang rumah tangga, termasuk beras. Sementara klosetnya tak pernah dipakai sama sekali.

Keberhasilan mengubah perilaku itulah yang membuat Agus Gunarto menerima penghargaan sebagai Pemuda Pelopor Nasional tahun 1996. Tahun 1997 bahkan mantan Presiden Soeharto memberinya penghargaan Kalpataru untuk pengabdi lingkungan.

Lantaran penghargaan itu barangkali, sampai kini tangki AG sudah dipasang di tujuh kampung lain di Kota Malang. Semuanya atas swadaya warga kampung. Bahkan kreasi Agus Gunarto sudah merambah Bandung dan Sulawesi Tenggara.

Prestasi itulah yang membuat lembaga semacam Bank Dunia memperkenalkan Agus pada Asoka Inovation Public, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berpusat di Amerika. Atas sponsor Asoka, Agus berangkat mengikuti kompetisi teknologi tingkat dunia ke London. “Saya kemudian ditetapkan sebagai pemenang pertama dari 25 peserta yang berasal dari 11 negara, untuk kategori social entrepreneurship,” tuturnya.

Jadi tulisan “Anda Masuk Kawasan MCK Terpadu” itu kini menjadi semacam “larangan” bagi warga untuk “ke kali”. Jangan coba-coba menggunakan joki seperti di jalur three in one pasti Agus sebagai Ketua RT akan memberi tanda “tilang” (tindakan langsung), karena rumahnya berdiri di ujung jalan berbatasan dengan Kali Brantas dan kolam MCK bikinannya. []