Sumber: Kompas.

Infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA termasuk 10 jenis penyakit terbanyak yang menyerang anak-anak dan bayi di bawah usia lima tahun di Nusa Tenggara Barat.

Ibu dua anak ini adalah penerima Anugerah Teknologi Tepat Guna kategori pengembang dari Pemerintah Provinsi NTB. Karyanya, alat bantu pengencer dahak anak balita yang didesain sedemikian rupa dengan bahan berbiaya murah dan mudah digunakan ibu rumah tangga, kini jadi sarana pendukung layanan di puskesmas maupun puskesmas pembantu.

Mengeluarkan dahak agar anak balita lebih ringan bernapas adalah persoalan yang umumnya dihadapi petugas kesehatan maupun ibu si anak balita.

Memang, alat pengencer dahak telah berkembang dalam dunia kedokteran. Alat yang banyak dijual di pasaran itu agaknya tidak mampu dibeli masyarakat biasa karena harganya relatif mahal, Rp 1 juta per unit. Selain itu, alat tersebut didesain untuk orang dewasa dan tidak memiliki alat pengatur laju aliran uap sesuai kondisi pasien.

Menurut Wiwik, alat pengencer dahak hasil temuannya itu menggunakan uap air panas, yang inspirasinya berasal dari kearifan lokal. Para perempuan setempat biasa menggunakan uap air mendidih untuk merawat wajah, kulit kepala, dan perawatan kecantikan lain. Atau kebiasaan minum air hangat suam-suam kuku bagi penderita batuk-pilek karena tenggorokan tersekat dahak kental.

Dahak memang akan encer bila kena panas. Hanya saja mengencerkan dahak dengan minum air hangat dinilai kurang efektif mengingat air hangat itu masuk lewat saluran makanan, bukan melewati saluran napas, yaitu hidung hingga ke paru sebagai sasaran utama.

Mudah dan murah

Kondisi itu mendorong Wiwik memodifikasi alat bantu yang lebih mudah dan murah. Dia kemudian menyiasati uap sebagai sumber terapi dengan merangkai alat elektrik sederhana. Untuk itu, Wiwik punya “konsultan pribadi”: suaminya, Nur Kaliwantoro, alumnus Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang kini Dosen Fakultas Teknik Universitas Mataram.

Alat terapi itu bahannya gampang didapat karena tersedia di toko penjualan alat rumah tangga maupun toko elektronik, seperti travo 12 volt, teko pemanas, botol susu dan dot, masker, selang, pengatur tinggi-rendah suhu air, serta kipas mini untuk mengontrol laju aliran uap hangat.

Ujung dot dipotong bagian atasnya dan bagian tengah botol dilubangi untuk memasukkan selang yang berhubungan dengan teko. Ketika suhu air mendekati titik didih, pengatur suhu dikecilkan agar konstan (60-70 derajat Celsius), lalu botol dot didekatkan pada hidung bayi. Agar suhu air lebih cepat mencapai suhu konstan tadi, sebaiknya memakai air matang yang disimpan dalam termos.

Setiap terapi berjalan sekitar lima menit. Guna mempercepat pengenceran dahak, ditambah pula dengan fisioterapi seperti menepuk-nepuk punggung dan dada anak balita dengan tangan dalam posisi jemari tangan agak dilengkungkan.

Pusing sendiri

Alat sederhana yang biaya pembuatannya Rp 75.000 itu tercipta setelah melalui berbagai uji coba sejak tahun 2003. “Wah, pokoknya saya jadi pusing sendiri karena uji coba yang saya lakukan untuk menyempurnakan alat itu gagal terus,” ujar Wiwik.

Salah satu kesulitannya adalah mengeluarkan uap air panas dari teko agar bisa bertahan lama. “Kalau menggunakan botol dot dengan memotong bagian atas pentil dot, uapnya cuma bertahan dua menit. Bagaimana agar lebih lama, itu yang ingin saya temukan,” ungkapnya.

Untuk itu dia membuat desain dengan memasukkan selang berdiameter 1 sentimeter lewat teko yang dilubangi, kemudian untuk mempercepat laju uap digunakan kipas. Kipas diarahkan ke air panas dengan tujuan agar uap air bisa mengalir melalui lubang pipa. Tetapi, cara ini malah membuat selang melengkung dan berembun.

Kegagalan itu tidak membuat Wiwik putus asa, apalagi niat awalnya adalah membuat alat pengencer dahak sederhana dan murah yang mudah dioperasikan ibu rumah tangga, terutama di pedesaan.

“Alat itu lebih banyak fungsi sosialnya ketimbang komersialnya,” papar Wiwik.

Semula, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, ini pernah menggunakan air panas yang dimasukkan dalam botol dot yang dot bagian atasnya dipotong agar uap air gampang dihirup bayi.

“Malah saya pernah pakai cangkir dan gelas berisi air panas. Tetapi, itu kurang aman karena air dalam cangkir bisa tumpah tersentuh kaki dan tangan bayi yang terlalu aktif,” ujarnya.

Setelah menemukan alat yang diinginkan, tahun 2002 Wiwik mengujicobakan kepada anak-anaknya dan para pasien anak balitanya.

Wiwik mengaku, selain punya kelebihan, alat itu juga memiliki kekurangan, seperti ukurannya yang masih relatif besar sehingga akan dimodifikasi lebih kecil agar mudah dibawa bepergian. Juga tingkat efektivitas alat ini masih 80 persen sehingga perlu disempurnakan.

“Alat ini membantu mempercepat mengencerkan dahak biar bayi agak lega bernapas. Karena itu, terapi obat-obatan tetap diperlukan untuk menyembuhkan penderita,” ungkap Wiwik. []