Sumber: Kompas.

“YAH… ini cuman impian orang bodoh yang pengen denger suara burung di deket rumah aje,” ungkap Chaerudin (46) dengan logat khas Betawi saat ditanya perihal kerelaannya bekerja keras menanam ribuan pohon di bantaran Sungai Pesanggrahan, Kelurahan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Selama bertahun-tahun, sejak tahun 1990, Bang Udin-panggilan akrab Chaerudin-tekun menanam berbagai macam pohon di sepanjang bantaran Sungai Pesanggrahan yang melintasi tempat kelahirannya di Kampung Karang Tengah, Lebak Bulus. Setiap kali hujan deras, sungai yang berhulu di Cilebut, Bogor, Jawa Barat, itu seringkali menyebabkan Jakarta dilanda banjir.

Untuk menghijaukan kembali bantaran sungai, Bang Udin kelihatan tidak main-main. Ia berpikir selain melindungi bantaran sungai, pohon yang ditanam harus bisa menghidupi masyarakat yang dulu sebagian besar hidup sebagai petani. Bang Udin memutuskan untuk menanam jenis tanaman produktif. Mulai dari jenis buah-buahan, tanaman obat, hingga ke palawija. Bahkan, ada beberapa jenis pohon yang tergolong langka, seperti pohon buni, kecapi, kepel, gandaria, bisbul, dan lain-lain.

Mencari bibit tanaman bukan hal yang mudah. Selama bertahun-tahun, selain menanam, kegiatan Udin adalah “berburu” bibit pohon. Putra Betawi itu juga menanam kembali tanaman bambu yang sudah hampir “menghilang” di bantaran Sungai Pesanggrahan. Bambu digunakan untuk menahan agar tanah bantaran tidak longsor tergerus air. Setiap pagi hingga senja, ia masuk ke hutan dan memelihara tanaman-tanamannya.

Saat ini, banyak orang di Kampung Karang Tengah yang menuai hasil dari penghijauan di bantaran Sungai Pesanggrahan. Selain untuk makan sehari-hari, warga juga menjual hasil produksi tanaman itu ke pasar untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

***

CHAERUDIN adalah sosok sederhana dengan kehidupan yang sederhana pula. Bersama istrinya, Partina (49), dan dua anaknya yang sedang menginjak remaja, ia tinggal di sebuah rumah peninggalan orangtuanya.

Rumah yang memiliki banyak ruangan itu sebagian besar catnya sudah mengelupas. Dindingnya juga sudah banyak yang menghitam. Di beberapa ruangan tidak terpasang langit-langit. Televisi pun Bang Udin tidak punya. “Mendingan uangnya saya belikan bibit pohon dan untuk sekolah anak-anak,” ujarnya polos.

Banyak penghargaan yang sudah diterima Bang Udin, di antaranya penghargaan Kalpataru dari Pemerintah Provinsi DKI sebagai penyelamat lingkungan. Namun, ia tidak mau mengingat-ingat penghargaan apa saja yang telah didapatnya. Bagi dia, pengabdian tidak bisa diukur dengan penghargaan.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Udin mengandalkan hasil panen tanaman pisang raja sereh serta beternak kambing. Istrinya membantu menjual hasil kebunnya di sebuah kios kecil di pinggir jalan depan rumahnya.

Selain itu, Bang Udin juga membuat enam gerobak dorong untuk menjual pisang ke perumahan-perumahan elite di sekitarnya. “Pisang keliling” dijalankan oleh enam tetangganya dan menjadi sumber penghasilan mereka.

***

LAHIR sebagai putra Betawi asli di Kampung Karang Tengah, 13 April 1956, ia merasa prihatin dengan perubahan lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Tekad kuat Bang Udin untuk menyelamatkan bantaran Sungai Pesanggrahan muncul ketika bantaran itu banyak dikapling dan diklaim sebagai milik pribadi. Ratusan rumah mewah berdinding tembok dengan halaman yang luasnya mencapai ribuan meter akhirnya “mengepung” rumah warga Kampung Karang Tengah.

Warga merasa kehilangan karena bantaran sudah tertutup untuk umum. Tadinya, penduduk menggunakan bantaran itu untuk aneka kegiatan, seperti bermain, memancing, bertanam, dan lain-lain. Namun, setelah dikapling, orang-orang yang tinggal di rumah mewah hanya menggunakannya untuk membuang sampah.

Keprihatinan itu diwujudkan Bang Udin dengan melakukan suatu tindakan, yaitu menyusuri sungai menggunakan rakit kayu atau batang pisang untuk membersihkan sungai. Namun, semakin banyaknya rumah yang dibangun membuat Bang Udin tak kuasa lagi mengerjakan hal itu sendirian.

***

PADA tahun 1993, Bang Udin mengajak warga lain untuk bergabung dengannya. Sebagian besar dari mereka juga berprofesi sebagai petani. Di Kampung Karang Tengah, memang sudah banyak petani yang menggarap lahan untuk usaha tani. Namun, mereka belum terorganisir dan lahan yang digarap juga masih sangat sempit. “Banyak petani yang tidak memiliki lahan,” kata Bang Udin.

Melihat tanah bantaran yang kosong akhirnya justru dikuasai rumah-rumah pribadi, Bang Udin coba mengajukan permohonan untuk mendapat izin penggarapan lahan. “Saya berani mengajukan permohonan karena setahu saya bantaran itu tidak boleh dibangun rumah apalagi dimiliki secara pribadi. Bantaran itu harus hijau dan bebas untuk umum,” tambahnya.

Keinginan itu tidak mudah diraih. Upaya Bang Udin untuk menghijaukan kembali bantaran sungai dengan tanaman produktif mendapat tentangan keras dari pemilik rumah yang nekat mengapling bantaran sungai. Ia juga berusaha menemui pemilik rumah dan meminta agar mereka tidak lagi membuang sampah di sungai atau bantaran. “Omongan saya yang cuma orang kecil ini gak digubris. Saking jengkelnya, sampah itu saya masukkan ke tas plastik dan saya gantungin di depan pintu gerbang dia (pemilik rumah),” kata Bang Udin tertawa.

Perjuangan untuk bisa mendapatkan izin menggarap lahan di bantaran yang sudah dikapling itu membutuhkan waktu bertahun-tahun. Dari tahun 1993 sejak Bang Udin mengumpulkan petani lainnya, baru pada tahun 1997 mereka mendapat izin secara lisan dari para “pemilik” bantaran.

Sejak itulah kelompok tani itu resmi dibentuk dan diberi nama Bambu Kuning. Saat itu anggotanya baru 17 orang. Selain menanam tanaman produktif, para petani juga sepakat untuk menghutankan kembali bantaran Sungai Pesanggrahan. Awalnya, mereka hanya menghutankan bantaran sepanjang 1-2 km.

Kini kelompok tani yang didirikan Bang Udin dikenal sebagai Kelompok Tani Lingkungan Hidup Sangga Buana, artinya penyangga alam semesta. Anggotanya sudah mencapai 80 orang lebih. Luas bantaran yang dihijaukan sudah mencapai 8 km dengan luas lahan 40 hektar.

Para petani yang dibina Bang Udin juga banyak memelihara kambing untuk penghasilan tambahan. Saat ini mereka memiliki 72 kandang kambing. Potensi pertanian yang dikembangkan, yaitu tanaman sayuran 3.500 m2, tanaman pisang 2.400 m2, dan pepaya 660 m2. Sementara total potensi perikanan yang ada 4.000 m2. Bersama kelompoknya, Bang Udin juga berhasil menyelamatkan kobak (mata air) yang sudah lama terpendam.

Bang Udin senang sekali bicara soal pelestarian alam. Ia punya keinginan kuat untuk mengajak warga lainnya di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung dan Cisadane untuk berbuat hal yang sama. Falsafah sederhana yang dipegangnya-yang mungkin sudah dilupakan banyak orang-adalah “alam itu bukan warisan buat kita, tetapi merupakan titipan anak cucu kita”.

“Kalau manusia menganggap alam adalah warisan maka sumber daya alam akan dihabis-habiskan karena mereka berpikir alam itu hanya untuk dirinya sendiri. Sementara kalau manusia memandang alam sebagai titipan anak cucu, maka ia akan berpikir bagaimana caranya agar anak cucunya tidak kehabisan sumber daya alam yang ada, yaitu dengan cara melestarikannya,” tutur Bang Udin. []