Sumber: Kompas, Jumat, 29 Februari 2008 | 02:23 WIB

Menanam bakau di sepanjang pantai bukan perkara mudah. Bibit yang ditanam bisa tersapu ombak, dimakan ketam, atau dijahili tangan manusia, lalu hilang dalam sekejap. Tetapi, Muchson tanpa henti menghijaukan kembali kawasan tempat tinggalnya di Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur.

Kenyataannya, Muchson tidak hanya telah menanam sekitar 10.000 bakau (mangrove) di sepanjang 1,5 kilometer di tepian Sungai Wonokromo, tetapi dia bahkan mampu menjadikan bakau memiliki nilai tambah. Dari tangannya, bakau tidak hanya menjadi pelindung pesisir pantai, tetapi juga bisa dijadikan produk yang bernilai jual dan laku di pasaran.

Dari tanaman bakau jenis Sonneratia sp atau dikenal oleh warga setempat dengan nama bogem, Muchson bisa mengolahnya menjadi sirup apel mangrove, selai, atau jenang. Untuk mengumpulkan buah Sonneratia yang telah masak dan jatuh, Muchson meminta warga setempat membantu dengan menjadikan kegiatan itu sebagai pekerjaan sambilan.

”Saya ingin memberdayakan warga, titi’ akeh, ikut ngopeni,” ujarnya.

Menurut Muchson, sebetulnya hanya jenis Sonneratia alba yang paling pas untuk sirup karena aromanya harum. Namun, rasa asam pada buah bakau bisa terasa manis dan segar juga dengan penambahan gula yang pas. Tak mengherankan kalau sirup apel mangrove hasil ramuannya kini mulai dikenal, kendati Muchson baru melayani pesanan beberapa kantor pemerintah.

Produksi sirup apel mangrove dalam seminggu bisa mencapai sekitar 500 botol, berharga sekitar Rp 20.000-an per botol. Sayangnya, Muchson masih terbentur pada keterbatasan tenaga pemasaran produknya itu.

Selain membuat sirup, Muchson juga mencoba meningkatkan nilai buah bakau jenis lain. Buah tinjang (Rhizopora sp) misalnya, dia olah menjadi tepung agar-agar dan cendol. Sedangkan buah pohon api-api (Avicennia sp) dibuatnya menjadi keripik.

Memberi kuliah

Dengan berbagai usahanya tersebut, Muchson beberapa kali diundang memberikan kuliah tamu di Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS), sekaligus membantu beberapa mahasiswa jurusan Biologi ITS untuk mempelajari masalah bakau. Padahal, dia semula tidak memiliki dasar pengetahuan tentang tanaman yang menjadi penjaga ekosistem pantai itu.

Pengetahuan soal bakau diperolehnya secara otodidak selama sekitar delapan tahun. Dia rajin membaca buku- buku, berselancar di internet, dan ikut pelatihan pengelolaan bakau untuk masyarakat pesisir di Pusat Penelitian Mangrove di Bali pada 2006.

Kecintaannya pada bakau bermula saat lelaki kelahiran Bojonegoro ini pindah ke Surabaya, dan ikut mengerjakan proyek pembangunan gardu PLN di Wonorejo pada 1996. Oleh karena Wonorejo dekat muara Sungai Wonokromo, Muchson yang ahli instalasi penangkal petir dan panel listrik ini jadi sering menikmati pantai. Tahun 1998 dia mengajak beberapa nelayan penunggu tambak untuk membersihkan sampah.

”Senang melihat banyak pohon yang tumbuh alami, tapi eman kalau rusak karena sampah,” ujarnya.

Sekitar tahun 2003, Muchson mulai menanam pohon waru dan bakau jenis Rhizopora mucronata di tepi Sungai Wonokromo. Buah Rhizopora hanya ditancapkan di lumpur dan tumbuh. Namun, tahun 2004 saat tanggul di tepi sungai dibangun, pepohonan bakau yang baru berusia setahun itu pun habis.

”Saya memilih pohon waru dan bakau Rhizopora karena kedua bibit itulah yang paling mudah ditemukan di kawasan ini (pesisir timur Surabaya),” katanya.

Meski sudah dihabisi, tetapi Muchson tak menyerah. Begitu pembangunan tanggul rampung, dia mencoba lagi menanam pohon bakau. Kali ini dia mencoba menanam Sonneratia sp atau bogem dengan metode rumput.

Bibit Sonneratia sp dibungkus rumput dan diikat. Bibit dalam gumpalan rumput lalu dilempar ke tepi sungai. Supaya tidak mudah tersapu air, gumpalan rumput dijejalkan ke tanah berlumpur dengan batang kayu atau bambu. Setidaknya 10.000 bibit sudah ditanam di sepanjang 1,5 kilometer tepi sungai.

Kendala

Menurut Muchson, kegagalan penanaman bakau kerap terjadi karena tidak ada perawatan setelah penanaman. Rhizopora sp yang baru tumbuh di pantai sangat rentan terhadap ketam (wideng). Ketika laut pasang, ketam singgah di pohon dan memotong batang muda itu.

Untuk mengatasi ketam, dia menggunakan bumbung bambu sepanjang satu meter yang ditancapkan sedalam 60 sentimeter di pantai dan diisi lumpur. Di tengah bumbung itu ditancapkan buah Rhizopora mucronata yang berbentuk seperti buncis berdiameter sekitar satu sentimeter dan panjang mencapai 50 sentimeter.

Kendala lainnya adalah ronte, semacam kerang kecil yang mengerubungi batang Rhizopora muda sehingga tidak tumbuh dan akhirnya mati. Karena itu, setiap bulan, bakau yang ditanam harus dibersihkan dari ronte.

Sementara untuk pohon bakau yang disemai di polibag, kata Muchson, benihnya harus dibiasakan dengan air payau. Selama ini, benih bakau yang diadakan pemerintah melalui tender disemai menggunakan air tawar sehingga kegagalan proyek penanaman bakau pun sangat besar.

Ada hal yang perlu diperhitungkan, yaitu ombak. Di Wonorejo, kata Muchson, pantainya cekung sehingga ombak kuat menyapu pantai dan membentuk pusaran. Supaya tidak menantang ombak, pohon bakau ditanam berkoloni dengan formasi segi tiga. Penanaman juga harus memerhatikan waktu. Bakau akan baik ditanam saat angin barat antara Desember-Juli, jangan saat angin timur menyapu semua lumpur di pantai.

Selain ancaman alam, ulah manusia juga tak kalah merusaknya. Apalagi jenis Abasenia sp dan Sonneratia sp kerap ditebang untuk kayu bakar. Kayu Sonneratia sp juga bisa digunakan untuk membangun rumah, sedangkan akarnya untuk tutup botol dan kepala shuttle cock.

Di tengah berbagai ancaman itu, pria kelahiran 7 Mei 1962 yang pernah melakoni beragam pekerjaan, seperti honorer di BPN, jual beli palawija, dan sopir ini, tak putus asa. Bahkan dia juga tidak berhenti mengajak nelayan penunggu tambak untuk terus menanam bakau setidaknya di tepi tambak, lalu berlanjut ke tepi sungai atau pantai.

Sejak 2003, Muchson bekerja sebagai juru ukur di sebuah kompleks perumahan di kawasan Medokan Semampir, Surabaya. Melihat kegigihannya, pengusaha perumahan itu rupanya tergugah. Muchson lalu diberi bantuan dana dan peralatan untuk menanam bakau di tepi pantai timur Surabaya itu. []